Gajah, sebagai mamalia darat terbesar yang hidup berkelompok, membutuhkan banyak makanan alami. Akibatnya, hewan membutuhkan area alami yang luas untuk disebut rumah. Masyarakat harus belajar dari sejarah Kesultanan Aceh yang makmur dari ekspor lada dan pala serta bercocok tanam dengan gajah karena hewan tidak memakan hasil panen, menurut Wahdi. “Dengan menanam komoditas tanaman yang benar, kita dapat melayani kepentingan konservasi hewan dan komersial,” katanya. “Orang-orang di pantai timur Aceh, misalnya, menghasilkan tanaman nilam, yang beracun bagi gajah dan babi hutan.” Minyak nilam merupakan minyak atsiri terkenal yang banyak digunakan dalam bisnis wewangian. Karena tidak ada padanan sintetis, minyak nilam sangat diminati, dan Indonesia adalah salah satu produsen terkemuka. Jeruk, limau, lemon, dan cengkeh adalah tanaman yang direkomendasikan selain nilam. “Mudah-mudahan lebih banyak orang yang mau menanam tanaman ini, tapi masing-masing komunitas punya preferensi sendiri-sendiri. Wahdi menyatakan, “Komoditas itu harus memenuhi permintaan masyarakat.”
Status populasi gajah sumatera diubah dari “terancam punah” menjadi “sangat terancam punah” oleh International Union for Conservation of Nature karena hampir 70% habitatnya hancur dalam 25 tahun terakhir. Hal ini mengakibatkan konflik manusia-gajah dan kepunahan lebih dari setengah populasi gajah dalam satu generasi. Dari tahun 2012 hingga 2017, Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh mencatat 170 konflik manusia-gajah, dengan 54 gajah tewas dan 19 orang luka-luka. Tentunya akan sangat disayangkan sekali apabila salah satu mamalia terbesar di bumi ini punah dan tidak dapat di lihat oleh anak maupun cucu kita. Marilah tingkatkan kesadaran untuk menjaga lingkungan terutama hutan liar yang menjadi rumah dari berbagai hewan liar termasuk gajah.